PENDAHULUAN
Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia,
dimana Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut
Megadiversity Country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora
dan fauna yang banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Dalam,
kenyataannya pemanfaatan hutan alam yang telah berlangsung sejak awal 1970-an ternyata memberikan gambaran yang kurang menggembirakan untuk masa depan dunia kehutanan Indonesia. Terlepas dari keberhasilan penghasil devisa, peningkatan pendapatan, menyerap tenaga kerja, serta mendorong pembangunan wilayah, pembangunan kehutanan melalui pemanfaatan hutan alam menyisakan sisi yang buram. Sisi negatif tersebut antara lain tingginya laju deforestasi yang menimbulkan kekhawatiran akan tidak tercapainya kelestarian hutan yang diperkuat oleh adanya penebangan liar (Illegal Logging).
Penebangan liar merupakan sebuah bencana bagi dunia kehutanan Indonesia yang berdampak luas bagi kondisi lingkungan, politik, ekonomi dan sosial budaya Indonesia. Mengingat hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai definisi dan latar belakang terjadinya illegal logging, siapa aktornya?,
bagaimana polanya?, apa dampaknya?, bagaimana proses penegakan hukumnya?, mengapa sulit dihentikan? dan bagaimana upaya penanggulanngannya?.
DEFINISI DAN LATAR BELAKANG TERJADINYA ILLEGAL LOGGING
Menurut konsep manajemen hutan sebetulnya penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam kerangka konsep manajemen hutan.
Penebangan liar dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan
melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang
mencakup kegiatan seperti menebang kayu di area yang dilindungi, area
konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di
hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan
produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Dimana kayu
yang dianggap legal adalah kayu yang bersumber dari :
• HPH (konsesi untuk kayu di hutan produksi dengan ijin dari Dephut);
• HTI di hutan produksi (ijin konsesi hutan tanaman oleh Dephut);
• IPK HTI dengan stok tebangan < 20 m³ (ijin tebangan oleh Pemprov
mewakili pemerintah pusat);
• IPK Kebun (ijin tebangan oleh Pemprov mewakili pemerintah pusat);
• Hutan rakyat (di luar kawasan hutan);
• Ijin Bupati untuk pelaksanaan penebangan di luar batas kawasan hutan,
untuk industri dan/atau masyarakat adat;
• Hutan kemasyarakatan (HKm) (ijin hutan rakyat di hutan produksi di
keluarkan oleh Dephut);
• HPH kecil (ijin 5000 ha kayu hutan alam berlaku untuk 25 tahun,
dikeluarkan oleh Bupati antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002) jika
potensi kayunya masih ada;
• KDTI (dikeluarkan oleh Dephut kepada Masyarakat Adat Pesisir, Krui,
Lampung Barat);
• Konsesi Kopermas yang disahkan oleh Menteri Kehutanan dan atau
dikeluarkan antara 27 Januari 1999 dan 8 Juni 2002;
• Impor yang sah;
• Lelang yang sah (Petunjuk yang jelas harus disusun untuk
mengidentifikasi pelelangan yang sah, untuk menghindari permainan
pengesahan kayu ilegal).
Sedangkan kayu yang ilegal adalah kayunya berasal dari :
• Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung;
• Ijin Bupati di dalam kawasan hutan (misalnya IPKTM, HPHH, IPPK)
yang diterbitkan setelah 8 Juni 2002;
• IPK HTI dengan stok tebangan >20m3;
• Konsensi Kopermas yang dikeluarkan oleh Pemrerintah Daerah setelah
Desember 2004.
Atau dengan kata lain, batasan/pengertian Illegal logging adalah meliputi
serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya
hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak. Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak didemarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat.
Terjadinya kegiatan penebangan liar di Indonesia didasari oleh beberapa
permasalahan yang terjadi, yaitu :
• Masalah Sosial dan Ekonomi
Sekitar 60 juta rakyat Indonesia sangat tergantung pada keberadaan hutan,
dan pada kenyataanya sebagian besar dari mereka hidup dalam kondisi
kemiskinan. Selain itu, akses mereka terhadap sumberdaya hutan rendah.
Kondisi kemiskinan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pemodl
yang tidak bertanggung jawab, yang menginginkan keuntungan cepat
dengan menggerakkan masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Hal
ini diperburuk dengan datangnya era reformasi dan demokratisasi, yang
disalah tafsirkan yang mendorong terjadinya anarki melalui pergerakan
massa. Yang pada gilirannya semakin menguntungkan para raja kayu dan
pejabat korup yang menjadi perlindungan mereka.
• Kelembagaan
Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah
dilakukannya penebangan liar, disamping lemahnya pengawasan instansi
kehutanan. Selain itu penebangan hutan melalui pemberian hak
penebangan huatn skala kecil oleh daerah telah menimbulkan peningkatan
fragmentasi hutan.
• Kesejangan Ketersediaan Bahan Baku
Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk
kepentingan industri dan kebutuhan domestik yang mencapai sekitar 37
juta m3 per tahun telah mendorong terjadinya penbengan kayu secara liar.
Disamping itu terdapat juga permintaan kayu dari luar negeri, yang
mengakibatkan terjadinya penyulundupan kayu dalam jumlah besar.
Dibukanya kran ekspor kayu bulat menyebabkan sulitnya mendeteksi
aliran kayu ilegal lintas batas.
• Lemahnya Koordinasi
Kelemahan korodinasi antara lain terjadi dalam hal pemberian ijin industri
pengolahan kayu antara instansi perindutrian dan instansi kehutanan serta
dalam hal pemberian ijin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan antara
instansi pertambangan dan instansi kehutanan. Koordinasi juga dirasakan
kurang dalam hal penegakan hukum antara instansi terkait, seperti
kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
• Kurangnya komitmen dan lemahnya law enforcement
Rendahnya komitmen terhadap kelestarian hutan menyebabkan aparat
pemerintah, baik pusat maupun daerah, eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, banyak terlibat dalam praktek KKN yang berkaitan dengan
penebangan secara liar. Penegak hukum bisa “dibeli” sehingga para aktor
pelaku pencurian kayu, khususnya para cukong dan penadah kayu curian
dapat terus lolos dari hukuman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar